Masih Mahasiswa kah Saya?

Tulisan ini saya ketik beberapa hari sebelum liburan semester berakhir. malam yg terasa pekat. entah kenapa saya merasa begitu dilematis. antara kembali ke perantauan secepatnya, atau minggu depan, atau tidak kembali lagi. Bimbang. Kopi hitam pait dan beberapa batang sigaret kretek saya paksa ikut larut dalam kegelisahan. Pahitnya kopi rupanya tidak sebanding dengan pahit yang sedang saya rasakan. Kepulan kretek pun tak mampu mengusir nyanyian bimbang.

Barangkali, tak seharusnya saya seperti ini. Disaat banyak teman-teman mahasiswa lain yg sudah kembali ke perantauan.  Ada yg sibuk ngospeki mahasiswa baru, sebagian lagi memilih menenggelamkan dirinya dalam keorganisasian kampus. Namun saya memilih hanyut dalam lamunan sendirian. diam dikampung halaman untuk waktu yg tak bisa saya tentukan. tenggelam dalam  suasana yg sulit untuk digambarkan. Ada kegelisahan yg tiba-tiba muncul. Serupa ombak biru samudera yg membawa saya hanyut dalam lautan keterasingan. Lalu, diujung kegelisahan yg tak kunjung bermuara, sebuah tanya datang tanpa disertai jawaban.

Hari-hari saya habiskan didepan layar kaca. menonton kebobrokan wajah birokrasi pemerintahan yg ditampilkan lewat media televisi. Persekongkolan  antara pemerintah yg korup dengan cukong-cukong kapitalis. dikemas rapi oleh media yg sesekali dibumbui kepentingan pribadi atau golongan agar publik teralihkan dari kejadian yg sebenarnya. Setiap hari selalu ada kasus datang silih berganti. Kadangkala kasus satu belum selesai, muncul kasus lain lagi. dari berita tentang korupsi sampai perebutan kursi, saya nikmati sambil malas-malasan. Sebetulnya muak sekali. Tapi tidak ada pilihan lain. daripada nonton sinetron yg tidak jelas jluntrungannya, rasanya acara berita sedikit lebih waras meski tak jarang berbau propaganda.  Tatkala melihat kebobrokan birokrasi yg ditampilkan lewat media, dalam hati muncul keprihatinan yg hinggap lalu berakhir dengan kedilemaan. disaat-saat seperti itu saya kembali terdiam. hanyut dalam keterasingan yg cukup lama. Separuh diri ingin melupakan dan menganggapnya angin lalu, toh tidak ada urusannya dengan saya. tapi separuh hati yg lain menggelisahkannya.  Bukankah saya juga bagian dari negeri ini?

Ketika sudah terlampau muak,  tv beserta ocehan didalamnya saya tinggalkan. Lalu saya keluar rumah. dibelakang rumah terhampar berpetak-petak sawah dengan aromanya yg sejenak bisa membuat suasana hati lebih tenang. Setidaknya bisa menetralisir kekacauan pikiran. sungguh, betapa saya selalu bersyukur bisa lahir dan tumbuh besar dilingkungan desa yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. disini mayoritas masyarakat bekerja sebagai petani. meski begitu, tidak sedikit yg bisa mengantarkan anaknya kuliah ke kampus-kampus di kota besar.

Namun saya kembali gelisah, karena akhir-akhir ini wajah daerah tempat saya tinggal perlahan mulai berubah. Ditandai dengan masuknya industri pabrik. Yang tidak tanggung-tanggung diklaim sebagai pabrik terbesar seasia tenggara. membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Bangga karena bagian dari penyumbang pembangunan Negara itu ada disini, khawatir karena ditakutkan berimbas pada pola kehidupan sosial masyarakat. tanah-tanah warga yg dulunya sawah kini berubah menjadi gedung besar bertembok tinggi. Sebagian masyarakat senang, sebagian lagi bimbang. Senang karena dibeli dengan harga yg terlampau mahal, ditambah adanya industri berarti sebuah  angin baru untuk menuju kehidupan yg “katanya” lebih baik. menanggalkan cangkul dan menukarkannya dengan pekerjaan di pabrik. menjadi bagian dari pekerja  industri pabrik dengan gaji setiap bulan dan tidak perlu mikir rugi. Sebagian yg bimbang menggelisahkan tempat tinggalnya yg mulai terusik oleh keramaian-keramaian indutri. Tak ayal polusi pabrik pun sudah menjadi teman sehari-hari. sungguh perubahan besar yg memerlukan pengorbanan yg tidak kalah besar.

Diantara kesenangan dan kebimbangan, rupanya ada yg tidak banyak awam ketahui. Dibalik berdirinya gedung besar nan megah tersebut, tersimpan ketimpangan birokrasi yg berjalan rapi dan tersembunyi. Jauh dari jangkauan awam. melibatkan pihak korporasi dengan pemerintahan setempat. perundingan kesepakatan diam-diam berjalan tanpa sepengetahuan warga masyarakat. sunggguh miris. Memang, industri yg berdiri ditengah-tengah permukiman masyarakat bagaikan dua mata uang berlawanan. Disatu sisi mengangkat kesejahteraan masyarakat, namun disisi lain juga berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat, khususnya dampak sosial dan lingkungan (alam).

Melihat kampung halaman diacak-acak oleh kepentingan beberapa golongan, kaum imperialis bermuka kapitalis yg disokong oleh birokrasi yg kotor. sebagai bagian dari masyarakat, ditambah saya seorang (golongan kaum) mahasiswa, yg konon katanya adalah sosial kontrol yg seharusnya bisa menganalisis keadaan lalu menciptakan perubahan kearah yg lebih baik. seharusnya saya berdiri paling depan melakukan perlawanan, menentang ketidakadilan. namun kenyataannya, saya hanya mendapati diri ini terdiam. Bimbang. ketika banyak dari teman-teman kampung yg sudah berajut asa disana, diam-diam saya juga pernah ikut menggantungkan sebagian mimpi digedung besar tersebut. namun hari ini, melihat birokrasi kotor yg bersembunyi dibaliknya, juga dampak lingkungan yg tak kunjung terselesaikan, perlahan mimpi itu terurai, lalu beradu dengan nurani. Bagaimanapun, dalam diri yg apatis ini masih tersisa keprihatinan melihat kampung halaman yang damai berubah wajah menjadi daerah industri yg mengerikan.

ketika keprihatinan tak kunjung bersambut dengan perlawanan. ada kekhawatiran akan keadaan yg bisa membuat masyarakat menjadi lupa. lupa dirinya, tetangganya, bahkan sosial-budayanya. lalu kemudian segalanya menjadi terbiasa. oh, secepat inikah segalanya terjadi? saya tidak mampu membayangkan seandainya semua itu benar-benar beruba.

Kemudian saya membuka mata. tanda-tanda perubahan itu tampak terlihat didepan mata saya. perlahan namun pasti, mulai ada yg menunjukkan perubahan sedikit-sedikit.oh, sungguh miris.
lebih mirisnya lagi ketika tersadar bahwa saya adalah seorang mahasiswa yg juga  bagian dari masyarakat ini, namun tidak sedikit pun dari sikap saya yg menunjukkan perlawanan, tapi terkesan pasrah dan menerimanya sebagai takdir semesta. tidak! saya menolak pasrah! dan ini bukan takdir.

Sejujurnya, saya malu dengan diri saya senduiri yg idak mampu memperjuangkan tanah kelahiran. saya juga malu menjadi mahasiswa. harapan mampu membawa angin perubahan, atau menjadi "jembatan" bagi jalannya aspirasi masyarakat itu seakan pupus. karena sampai detik ini pun saya masih saja terdiam. membisu. saya sudah seperti seonggok daging yg berjalan diatas muka bumi ini. diamanakah jiwa humanis itu? tidak! jiwa itu tidak hilang! barangkali ia sedang terlelap sebentar. atau sedang tersesat dijalan menuju  jasad. jiwa itu pasti akan terpanggil kembali.

Kemudian, untuk beberapa saat lamanya, perasaan saya seperti terbelah menjadi dua. memisah. lalu keduanya hanyut dalam arus yang berlawanan. pertentangan. diantara kedua arus yang berbalut kekalutan juga kegelisahan itu, sebuah tanya datang dari denyut jiwa yang terdalam. MASIH MAHASISWA KAH SAYA?



Baca juga: Sudahlah Bung, ayo ngebis saja!

0 komentar: